Senin, 08 April 2013

senyuman penutup


              Mereka tinggal di sebuah gubuk kecil buatan mereka sendiri di sudut kota. Meskipun kecil dan tidak layak tapi gubuk itu mampu melindungi mereka dari sengatan matahari dan dinginnya udara malam.
            Akhirakhir ini parjo sering mengerang kesakitan di bagian kepalanya. Ya, pasti kanker itu yang membuat tubuh kecilnya tersiksa. Bagaimana tidak, dalam 4 tahun terakhir dia belum pernah dibawa ke dokter ataupun rumah sakit untuk mendapat pertolongan medis, karena jangankan dibawanya berobat, untuk memberi makan Parjo, Narsinah sangat kesulitan. Pekerjaannya yang hanya seorang pemulung tidak mampu menopang tihang kehidupan keluarganya yang kokoh.
            Dalam hati Narsinah selalu menangis dan merasa bersalah kepada Parjo, karena sebagai ibu dia tidak dapat memberi yang terbaik bagi buah hatinya. Dalam setiap do'a yang ia panjatkan selalu terselip do'a untuk kesembuhan anak semata wayangnya itu, yang ia harapkan mampu memperbaiki keadaan ekonomi keluarganya kelak.
            Tapi apa daya kanker itu terus menggerogoti tubuh parjo, apalagi akhirakhir ini Parjo sering pingsan karena tidak kuat menahan rasa sakit yang teramat itu.
            Malam itu hujan yang sangat deras disertai petir yang bergantian menyambar, tibatiba Parjo mengerang keras dan tubuhnya kejangkejang,sepertinya karena rasa sakit yang teramat sangat. Narsinah yang baru pulang malam itu terkejut dan langsung berlari menuju anaknya.
            "Nak, kamu kenapa nak ?" Tanya Narsinah.
            "Bu s, sakt bu! Sakit" Parjo mengerang.
            Narsinah menangis dan ia kebingungan, saat itu terbesit dipikirannya untuk membanya ke rumah sakit tanpa memikirkan berapa biaya yang harus ia keluarkan nanti. Dia hanya yakin Tuhan pasti menolong hambanya.
            Narsinah bergegas mengendong Parjo dengan selendang yang nyaris sobek dan membawanya ke rumah sakit terdekat. Narsinah berlari tanpa henti di tengah derasnya hujan malam itu. Hingga ia tiba di rumah sakit ternama di Kotanya. Tapi apa? Jangankan masuk ke dalam dan menyerahkan anaknya untuk diobati, sebelum sampai di lobi rumah sakit ia dicegat oleh seorang satpam.
            "Mau kemana kamu? Kalau mau mintaminta bukan disini tempatnya." Kata satpam kepada Narsinah.
            Narsinah pun menjawab dengan penuh pengharapan.
            "Tolong pak, tolong! biarkan saya mengobati anak saya"
            "memang kamu mampu membayar biayanya?" Gertak satpam itu.
            "Pasti pak, pasti saya bayartapi tolong biarkan saya mengobati anak saya." Kata Narsinah.
            "Sudahsudah pergi sana. SUudah banyak orang seperti kamu datang kesini."usir satpam dengan nada menggertak.
            Dengan rasa sakit dan kecewa ibu dan anak itu pergi. Narsinah kembali mencari rumah sakit lainnya dan berharap ada rumah sakit yang mau menerima mereka.
            Waktu sudah pukul 4 pagi, sudah 5 rumah sakit di kota itu yang ia datangi tapi hasilnya sama, tidak ada yang mau menerima mereka. Ia pun merasa lelah dan kedinginan karena hujan yang tak kunjung reda.
            Terdengar suara kecil Parjo.
            "Sudah bu, istirahat dulu, ibu pasti cape."
            "Baik nak kita istirahat di dekat toko itu saja ya." Sahut Narsinah.
            Narsinah membaringkan anaknya dan merogh sakunya celananya, masih ada uang Rp 2.000, jumlah yang besar bagi Narsinah, ia pergi ke toko dan membeli 1 roti dan satu air mineral gelas dan kembali menuju Parjo. Narsinah membangunkan Parjo. "Nak, nak, bangun! Ini kamu makan dulu."
            Parjo terbangun dan berkata "Tidak bu, ibu saj yang makan! Ibu kan cape."
            "tidak nak, ini makan saja. Ibu tidak lapar. Biar kamu habiskan habiskan saja."
            Diulurkannya roti itu ke anaknya. Tangan Parjo menyambutnya. Dengan sekuat tenaga ia membuka bungkus roti tersebut. Marsinah hanya tersenyum melihat anaknya walaupun hatinya begitu bersedih melihat kondisi anaknya yang semakin parah.
            "Bu, ini untuk ibu." Dipotongnya separuh dari roti itu. Narsinah menolaknya, tetapi Parjo memaksanya, terus memaksa, dan memaksa. Disuapkanlah roti itu ke dalam mulut ibunya dan Narsinah pun menghabiskan roti itu. Malam pun semakin larut, cahaya bulan semakin benderang, angin terus berhembus seolah menebarkan kisah haru ibu dan anak itu.
            "Tidurlah nak, sudah malam. Kau perlu istirahat." Kata sang ibu yang muai letih.
            "Iya ibu, ibu juga tidur ya." Suara Parjo semakin pelan dan saat itu juga ia tertidur.
            Ibu Parjo mengangis saat itu juga,  betapa berat hidup yang ia jalani. Kini ia hanya berdo'a akan datang sebuah keajaiban dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Keletihan dan kegundahanyang ia alami membawanya terjaga dalam tidur.
            "Ibu kemari bu" Kata Parjo. Narsiah mencoba mendekati suara itu. Kalimat itu terus terdenga. Ia berjalan mengiuti arah suara itu namun semakin sulit menemukan anaknya. Hingga Narsinah akhirnya mendapati anaknya sedang berada di sebuah taman yang indah, biru, merah, kuning berbaur di sana. Parjo berlarilari mengejar kupukupu di taman itu.
             Narsinah termenung, ia tak pernah melihat anaknya begitu riang, begitu bergembira. Narsinah menghampiri anaknya dan memeluknya. Parjo tersenyum, tapi entah  ada angin apa Narsinah malah menangis, mereka duduk bersama di taman itu. Melihat langit biru, bungabunga bermekaran, dan kupu-kupu berterbangan di taman itu, hanya berdua saja.
            "Ibu jangan suka menganis y! Harus tetap kuat." kata Parjo, ibu hanya terdiam.
            "Maafkan kesalahan Parjo ya bu, parjo sering nakal, tapi ibu tetep sayang sama Parjo. Terimakasih untuk semua kasih sayang dan cinta Ibu." Parjo berkata sambil menutup matanya.

              Narsinah terbangun. Ia merasa udara kutub mengalir ke dalam tubuhnya. Aliran darah Narsinah terasa berhenti sepersekian detik, matnya langsung tertuju pada Parjo, bukan ada ala, sunyi disekitarnya. Wajah Parjo tersenyum sama seperti wajah yang ia lihat dalam mimipinya. Dipegangnya pergelangan anaknya. Ia berharap ada denyut nadi dalam tubuh anaknya. Tapi nyatanya, tak ada denyut dalam diri anaknya, Narsinah tertegun. Air mata pun mengalir Parjo hanya terbujur kaku di depannya. Separuh jiwanya serasa hilang. Anak kesayangannya kini telah kembali kepada Sang Khalik. Kini ia benarbenar sendiri menjalani hidup tanpa buah hatinya yang sudah pulang mendahului dia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar